Kamis, 09 Mei 2013

PEMBUANGAN


“Pembuangan” merupakan istilah yang biasa dipakai untuk penawanan sejumlah orang Yehuda ke Babel selama penyerbuan Nebukadnezar, raja Babel. Nebukadnezar pertama kali menyerang Yehuda pada tahun 598 SM. Ia menawan Raja Yoyakhin dan sejumlah pemuka Yehuda di Babel. Pada tahun 587 SM, Zedekia, raja Yehuda, melancarkan pemberontakan. Akibatnya,  sekali lagi menyerang Yehuda. Pada waktu itulah, tentara Nebukadnezar merobohkan tembok-tembok Yerusalem dan merampas benda-benda suci di Bait Allah. Sejumlah pemuka Yerusalem dan tukang-tukang yang ahli sekali lagi ditawan ke Babel.
Selanjutnya, Yehuda menjadi sebuah provinsi Babel di bawah seorang gubernur yang diangkat oleh Nebukadnezar. Tidak ada lagi raja dari keturuna Daud yang menduduki takhta Israel. Jumlah orang-orang yang dibuang pada tahun 597 SM dan 586SM, dan agaknya sekali lagi pada tahun 582 SM, menurut Yer. 52:28-30 adalah 4.500 orang, sementara menurut 2Raj. 24:14, orang-orang yang dibuang pada tahun 597 saja berjumlah sepuluh ribu.
Kehidupan orang-orang yang tertinggal di Yehuda atau mereka yang dibuang di Babel tidak banyak diketahui. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang yang dibuang di Babel menjalani kehidupan yang keras dan sulit. Namun, orang-orang Yehuda berjuang keras untuk tetap berpegang teguh pada iman kepercayaan mereka di tengah-tengah tekanan kebudayaan dan agama Babel. Sebagain besar dari mereka sangat rindu untuk pulang ke tanah perjanjian (Mzm. 137), sementara yang lainnya mungkin menetap di Babel sebagain bagian dari masyarakat di sana smabil mencari keuntungan melalui kesempatan usaha di sana. Para ahli menemukan bukti bahwa sejumlah orang Yahudi menetap di Babel, bahkan setelah Koresh, raja Persia, merebut Babel dan mengizinkan orang Yahudi kembali ke Yudea.
Pengalaman hidup sebagai orang yang dibuang ini sangat berpengaruh terhadap orang-orang Yahudi. Karena di sana tidak ada Bait Allah, tempat para imam dapat mempersembahkan kurban, mereka mulai berkumpul dalam kelompok-kelompok untuk berdoa dan mempelajari Kitab Suci. Mungkin selama masa inilah, sejumlah kitab ditulis dan disusun oleh para editor dan para ahli kitab. Kitab-kitab itu menjelaskan mengapa umat Israel menderita dan terhina di pembuangan. Orang-orang Yahudi belajar bahwa pembuangan terjadi bukan karena kebetulan. TUHAN Allah membiarkan hal itu terjadi karena umat-Nya berpaling dari-Nya dan berdosa, melupakan perintah Allah, khususnya dalam Kel. 20:3 “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” Ketika sudah tiba saatnya kembali ke tanah air pada tahun 539 SM, orang-orang Yueda (atau Yahudi) bersiap-siap membangun kembali Yerusalem dan Bait Allah, dan memperbaharui perjanjian mereka sebelumnya dengan TUHAN.

Sumber: Alkitab Edisi Studi. Halaman 1292

SINAGOG


Istilah sinagoga berasal dari bahasa Yunani yang berarti “perkumpulan.” Dalam Alkitab, sinagoga menunjuk pada suatu kelompok yang berkumpul bersama untuk beribadat. Tidak dapat dipastikan kapan tepatnya pertemuan yang disebut sinagoga itu dimulai, tetapi ada kemungkinan setelah Babel mengalahkan Yehuda dan mengangkut banyak penduduknya ke tanah pembuangan tahun 586SM (keterangan pada 1:6b-11: pada waktu pembuangan ke Babel: pada tahun 586/587 SM, pasukan Babel menaklukan dan menghancurkan Kota Yerusalem. Mereka menjarah benda-benda suci dari Bait Allah dan membuang orang Yahudi yang tinggal di kota dan sekitarnya ke Babel masa pembuangan itu berakhir pada tahun 538SM ketika bangsa Persia mengalahkan Babel dan mengizinkan orang Yahudi pulang ke tanah airnya di Yudea).  Ketika berada di tanah Babel, orang Israel tidak dapat beribadat dan mempersembahkan kurban di Bait Allah di  Yerusalem sehingga mereka terpaksa mencari cara lain agar tetap dapat beribadat.
Orang Yahudi kemudian juga mulai berpindah ke daerah-daerah lain, terutama ke Mesir, Yunani, dan daerah yang sekarang disebut Turki dan Rusia bagian selatan. Di situ mereka mulai berkumpul untuk beribadat, belajar, dan menjaga identitas kelompok mereka. Pertemuan ini disebut sinagoga. Orang-orang Yahudi yang tetap tinggal di Palestina terus melakukan pertemuan seperti itu, juga ketika raja-raja dinasti Seleukus berusaha memaksa mereka menyembah dewa-dewi Yunani. Sala hsatu raja dari dinasti ini, Antiokhus IV Epifanes (memerintah Palestina tahun 175-164 SM), menyebut diri sebagai dewa, sebagaimana dilakukan oleh Aleksancer Agung sebelumnya. Imam-imam Yahudi dari keluarga Makabe memimpin pemberontakan melawan Antiokhus. Mereka berhasil memerdekakan orang Yahudi dan memimpin negeri itu. Akan tetapi, tingkah laku para pemimpin dari keluarga Makabe kemudian menimbulkan perpecahan di kalangan rakyat. Sebagian penduduk bahkan tidak bersedia pergi ke Bait Allah untuk beribadat. Mereka lebih suka berkumpul di rumah-rumah dan tempat-tempat umum untuk mempelajari Kitab Suci demi menemukan makna kehidupan sejati mereka sebagai umat Allah.
Demikianlah situasi masyarakat pada masa Yesus (Mrk. 1:21, 6:2) dan zaman para rasul (Kis. 1:12-14, 9:2-20, 13:5). Tempat-tempat pertemuan orang Yahudi di luar Palestina lalu dikenal sebagai “tempat sembahyang” (Kis. 16:16). Setelah pasukan Roma menghancurkan Bait Allah Yerusalem pada tahun 70, imam-imam Bait Allah tidak dapat lagi memimpin ibadat. Dengan hilangnya Bait Allah sinagoga-sinagoga menjadi hal yang paling penting bagi peribadatan Yahudi dan kehidupan komunitas itu di daerah-daerah sekitar Laut Tengah. Orang-orang Yahudi senantiasa berkumpul di rumah-rumah dan tempat-tempat umum, demikian halnya dengan Paulus di Efesus (Kis. 19:8-10). Baru mulai abad ke-2 dan ke-3, rumah-rumah mulai ditaa secara khusus untuk ibadat. Sejak saat itu juga, tempat-tempat pertemuan yang dikhususkan untuk beribadat mulai dibangun. Tempat-tempat pertemuan itu kemudian juga disebut sinagoga. Reruntuhan sinagoga-sinagoga tersebut sampai sekarang masih dapat dijumpai di berbagai tempat di Israel dan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah.

Sumber:  Alkitab Edisi Studi. Halaman 1567

Sabtu, 16 Maret 2013

KERAJAAN ALLAH

Kita hidup di zaman modern, zaman serba canggih, serba teknologi. Namun sungguh disayangkan, semakin canggih zaman ini, semakin meningkat bahkan sangat canggih juga kejahatan-kejahatan yang terjadi. Rasa bahagia dan aman pun mulai makin kecil. Dalam suasana seperti ini, tentu kita mempunyai beberapa pertanyaan; Apa arti semua kemajuan atau kecanggihan ini? Ke mana kemajuan akan membawa kita? Apakah arti dan tujuan sejarah manusia? Apakah umat manusia mempunyai nasib? atau kita hanya berjalan tersentak-sentak melintasi pentas waktu bagai boneka-boneka kayu, hanya untuk menemukan pentas, para aktor, dan gedung pertunjukan yang hangus oleh api?

Manusia dahulu juga merindukan masyarakat yang ideal atau harmonis. Iman orang Ibrani menyatakan pengharapannya dalam hubungan dengan "Kerajaan Allah". Para nabi mengumumkan suatu hari ketika manusia akan hidup bersama secara damai (Yes. 2:4), bahkan binatang sekalipun hidup berdampingan dengan damai (Yes. 11:6). Sampai datang Yesus orang Nazaret dengan membawa berita; "Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat" (Mat. 4:17). Yesus orang Nazaret itu memulai misi-Nya dengan bertemakan "Kedatangan Kerjaan Allah", dalam hal; Pengajaran (Mat. 5:20; 7:21), Karya-karya-Nya (Mat. 12:28), Perumpamaan-perumpaman (Mat. 13:11), dalam ajaran DoaNya (Mat. 6:10), dan janji kepada murid-muridNya di malam sebelum kematianNya. (Luk. 22:29-30), serta janji kedatanganNya kelak nanti (Mat. 25:31, 34).

Namun, bila kita bertanya kepada Gereja atau Orang Kristen; "Apakah yang dimaksudkan dengan Kerajaan Allah itu? Kapan dan bagaimana datangnya? Jawaban pun banyak.
  1. Adolf von Harnack; Kerajaan Allah adalah suatu kekuatan rohani yang masuk ke dalam jiwa manusia dan menguasainya. 
  2. C. H. Dodd; Kerajaan Allah merupakan sesuatu yang absolut, "sesuatu yang sama sekali lain" yang telah memasuki dimensi waktu dan tempat dalam pribadi Yesus orang Nazaret. 
  3. Albert Schweitzer; Kerajaan yang disampaikan oleh Yesus merupakan suatu kerajaan yang berkaitan dengan wahyu yang akan diawali oleh suatu tindakan adikodrati Allah pada saat sejarah umat manusia terputus dan suatu tata surgawi yang baru dimulai.
  4. Zaman Agustinus, Kerajaan Allah dihubungkan dengan gereja. Waktu gereja bertumbuh, kerajaan Allah bertumbuh dan meluas di dunia pula. 
Sementara ada kelompok lain yang memahami Kerajaan Allah sebagai pola ideal dalam masyarakat. Alkitab juga berkata bahwa "Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus" Rm. 14:17.

Sisi lain dari kebenaran Kerajaan Allah menggambarkan fakta bahwa Kerajaan Allah adalah suatu suasana yang sudah dialami oleh para pengikut Yesus Kristus. Paulus menuliskan dalam Kol 1:13, bahwa "Ia (Allah) telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih"

Bila ditelusuri lebih lanjut lagi, maka pada hakekatnya kita akan menemukan tiga kenyataan dari Kerajaan Allah, yaitu:

  1. Kerajaan Allah sebagai pemerintahan Allah
  2. Kerajaan Allah sebagai wilayah yang sekarang dapat kita masuki untuk mengalami kemurahan dan kebaikan pemerintahan Allah.
  3.  Kerajaan Allah sebagai Kerajaan yang akan datang pada saat TUHAN YESUS datang lagi.
Saat berlutut atau berdiri mengangkat tangan berdoa, "Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga." Hakekatnya telah terjawab oleh Allah dalam caranya Allah, membawa sejarah hidup manusia kepada penggenapan yang telah ditetapkan secara ilahi bagi orang Kristen untuk memiliki keseimbangan dan kesehatan pikiran dalam dunia yang modern atau canggih tetapi menyakitkan ini. 

Jadi, dalam zaman sekarang apa pun suasana yang kita rasakan atau alami dan kita mengharapkan Kerajaan Allah -"Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga-" bahwasanya kerajaan itu sudah terjadi, kita ada di dalam Kerajaan itu (orang-orang yang percaya kepada YESUS KRISTUS), dan kelak nanti bila Yesus Tuhan Allah dan Bapa kita datang lagi.



Jumat, 08 Maret 2013

KUDUS

Berbicara mengenai "kudus" berarti merujuk kepada: DIPISAHKAN.
Kekeliruan yang sering terjadi adalah memikirkan kekudusan Allah dengan istilah-istilah manusia, seperti menggolongkan manusia ke dalam golongan rendah (penjahat-penjahat, orang-orang yang menyimpang), golongan rata-rata (yang mungkin mempunyai nilai etis berkisar 30-40%), golongan terbaik (para hakim dengan nilai 60-70%).

Sesungguhnya menurut Alkitab, kekudusan Allah tidak dapat dikategorikan sama dengan kebaikan manusia. dalam Roma 10:3, Paulus membicarakan tentang dua jenis kebenaran; kebenaran Allah dan kebenaran Manusia. kita bisa mengumpulkan semua kebenaran manusia, namun belum bisa mendekati kebenaran Allah, karena kebenaran Allah itu sangat berbeda dengan kebenaran manusia.

Bila kita berbicara tentang kekudusan Allah, maka tidak boleh memulai dengan etika. karena konsep asali dan fundamentalnya "kudus" bukanlah suatu konsep etis. kudus mengartikan natur (asli, sifat, watak, pembawaan) Allah yang membedakan Allah dari segala sesuatu yang lain. Kudus adalah apa yang memisahkan Allah dari ciptaan-Nya. Kudus berkenaan dengan transendiensi Allah.

Arti fundamental dari kata holy (kudus) adalah "saint" (orang kudus) dan "sanctify (menguduskan). Holy berasal dari rumpun bahasa Jereman, Saint dari rumpun bahasa Latin. Namun keduanya identik. Menurut Alkitab orang kudus bukanlah orang yeng telah mencapai suatu tingkat kebaikan tertentu, tetapi orang yang dipisahkan oleh Allah. orang=orang kudus adalah orang-orang yang dipanggil keluar yang merupakan gereja Allah. hal ini sama seperti di Keluaran 40, dimana Musa diperintahkan untuk menguduskan mezbah dan bejana pembasuhan di tengah-tengah tabernakel. Pasal ini bukan merujuk pada perubahan yang terkandung di dalam natur benda-benda itu. Pengudusan  mengindikasikan bahwa harus dipisahkan untuk suatu kegunaan khusus. Sama halnya dengan Yesus berdoa (Yohanes 17:19). Ayat ini tidak berarti Yesus menjadikan diri-Nya lebih benar (karena YESUS memang sudah benar), namun mengartikan bahwa Yesus memisahkan diri-Nya untuk tugas khusus (tugas memberi keselamatan bagi banyak orang lewat kematian-Nya di kayu salib). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kekudusan adalah karakteristik Allah yang memisahkan DIA dari ciptaan-Nya.

Kekudusan memiliki 4 unsur, yaitu

  1. Keagungan; artinya martabat, otoritas kedaulatan, kemegahan atau kebesaran
  2. kehendak; kehendaknya sama sekali lain, yang kemuliaan-Nya tidak terpengaruh oleh kesombongan manusia atau pemberontakan manusia.  Kekudusan sangat dekat dengan "kecemburuan Allah". Allah sangat menolak setiap serangan atas hak istimewa-Nya sebagai TUHAN yang tertinggi atas ciptaan-Nya. Seperti seorang yang sudah menikah pasti tidak mengizinkan orang ketiga yang masuk ke dalam hubungan pernikahan mereka.
  3. murka; adalah suatu bagian dari esensi kekudusan Allah. namun murka tidak bisa disamakan dengan reaksi emosional manusia. karena ini merupakan sikap Allah yang kudus terhadap semua yang menentang Allah, semua yang menginginkan tempat-Nya. ketika iblis berusaha melakukan hal itu, iblis dihakimi. ketika manusia menolak untuk mendapatkan tempat yang diberikan oleh Allah kepada manusia, manusia dihakimi.
  4. kebenaran; tercakup dalam kekudusan, bukan berarti kebenaran adalah kategori yang terbaik yang dengannya kekudusan dapat dipahami tetapi apa yang Allah kehendaki adalah kebenaran. bila timbul pertanyaan; apa yang benar? apa yang bermoral? pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan standar moral atau etis, tetapi merujuk kepada kehendak dan sifat Allah sendiri yang adalah benar. Sifat Allah merupakan dasar yang esensial bagi moralitas atau etika; yang baik atau buruk. jadi bila dimana Allah tidak diakui, maka moralitas atau etika pasti menurun atau merosot. Hanya menaati Allah saja yang menjadikan moralitas atau etika itu memiliki nilai yang tinggi.
http://solfianusambesa59.wix.com/solfianusambesa#!student-life/c11m6